Disini, dua tahun lalu.
Kau tersenyum padaku.
Kita bersama.
Kita bahagia.
Disini, dua tahun lalu.
Kau memelukku erat.
Penuh kehangatan.
Penuh keceriaan.
Disini, dua tahun lalu.
Juga menjadi akhir kisah kita.
Senyum manis getir itu.
Takkan kulupa.
Aku tetap mencintaimu.
Selama-lamanya.
Di jembatan tua ini, terduduklah seorang gadis manis di kursi rodanya. Matanya sayu, menatap kosong pada arus sungai deras dibawahnya. Cairan bening dari matanya, perlahan membasahi pipinya. Kepalanya tertunduk. Tangannya terus menggenggam kepalanya. Ingatannya terus berputar pada masa-masa indah hidupnya, dua tahun lalu.
—
Terlihat sosok gadis berseragan SMP duduk sendiri di tepi lapangan futsal. Ia terus memandangi laki-laki yang tengah mengejar bola. Sesekali, ia berteriak menyemangati. Sebuah senyum simpul menghiasi wajahnya ketika lelaki itu mulai melangkah kearahnya.
“Kau belum pulang?” tanya lelaki itu pada gadis dihadapannya.
“Aku masih ingin melihat orang-orang bermain. Permainan futsalmu tadi sangat keren, Danang! Aku suka!” jawab gadis itu sambil menunjukkan kedua jempolnya.
“Bukankah kau selalu menyukai apa saja yang ada padaku?” ujar Danang dengan percaya dirinya.
“Maksudmu?”
“Aku membaca buku harianmu, Nissa. Hehe” ujar Danang sambil tertawa sendiri.
“Hah? Apa?! Kau benar-benar…”
Tak sempat gadis itu melanjutkan kata-katanya, lelaki itu pergi meninggalkannya sendiri. Tak ada seorangpun. Di tengah angin yang meniupkan dedaunan kering. Di dalam otaknya kini, penuh akan sosok lelaki itu. Danang, cinta pertamanya. Pahit memang, bila harus mengakui, hatinya jatuh pada lelaki yang menjadi sahabatnya itu.
Awan cerah kini berganti menjadi awan mendung. Nissa masih terduduk di tempat yang sama. Rintik hujan mulai membasahi tubuhnya. Angin dingin menusuk kulitnya. Entah hawa apa yang membuatnya terus bertahan disitu. Dering ponsel panggilan dari sang mama pun tidak dihiraukannya. Tubuhnya semakin melemah. Nafasnya semakin terengah.
“Nissa… Apa yang kau lakukan disitu?”
Terdengar suara lelaki yang tak asing di telinga Nissa. Rupanya Danang memanggilnya. Namun apa daya, tubuhnya sudah sangat lemah dan tak sanggup lagi menyahuti panggilan sahabatnya itu. Dengan sigap, Danang menggendong tubuh kecil Nissa yang sudah tidak berdaya. Berjalan melewati jalan-jalan yang sepi, ditemani jatuhnya hujan dan hembusan angin. Hanya berdua.
Kelopak mata Nissa perlahan mulai terbuka. Dilihatnya sosok keibuan di samping tempat tidurnya. Wanita cantik nan mulia itu sedang tersenyum kearahnya. Tangannya membelai rambut Nissa dengan lembut. Sesekali, tangannya ditempelkan ke dahi anaknya itu. Memastikan bahwa suhu tubuh anaknya sudah menurun. Melihat anaknya yang hendak bangun, ia pun membantunya duduk di kasur.
“Tadi Danang mengantarmu pulang lho, sayang” tutur mama memulai pembicaraan.
“Hemmm..” jawab Nissa yang masih terlalu lemas.
“Ohh iya, Danang menitipkan ini pada Mama. Dia menulis setelah mengantarmu ke kamar.” ujar mama sambil menunjukkan selembar kertas pada Nissa.
“Baca saja.” lanjutnya.
“Tapi ini sudah sangat larut, sebaiknya kamu kembali tidur dan istirahat yang cukup ya, sayang.” ucap mama sambil mengecup dahi Nissa dan kemudian keluar dari kamar anaknya itu.
“Yaa, Ma.” sahut Nissa sambil mulai membaca kertas dari Danang tadi.
“Kau ceroboh! Sangat ceroboh!
Bagaimana mungkin manusia yang memiliki
otak membiarkan dirinya tersapu hujan?
Bagaimana kalau tadi tidak ada aku? Kau sendirian dan pingsan disana.
Pokoknya kau harus balas budi! Aku akan menjemputmu besok jam tujuh!
Kau harus ikut kemanapun aku membawamu pergi!”
Nissa membaca kertas itu sambil tertawa. Dirinyapun memikirkan, ternyata betapa baik hati sahabatnya itu. Kini matanyapun sulit untuk terpejam. Membayangkan harinya esok bersama orang yang dicintainya itu.
“Marley…” terdengar suara ketukan pintu rumah Nissa. Keluarlah seorang gadis cantik yang baru saja di rias oleh mamanya itu.
“Sudah berapa kali kukatakan, jangan memanggilku Marley! Namaku Nissa!” jawab gadis itu membentak.
“Nissa Marley”
“Ishh! Dasar otak udang, kepala cimol. Ber…”
“Kalian ini seperti anak kecil saja. Sudahlah Nissa, berhenti bertengkar.” ucap mama memotong pembicaraan.
“Baiklah, Tante kami pergi dulu ya?” pamit Danang kepada mama Nissa.
“Mau kemana? Naik apa?” tanya Nissa bingung.
“Sudah, ikut saja!”
Danang langsung menarik Nissa menuju sepedanya yang di parkir di luar. Mama Nissa hanya terkekeh melihat tingkah mereka berdua.
Di sepanjang jalan, mereka bercanda. Sampai sesekali sepeda oleng dan terjatuh, mereka justru tertawa. Nissa begitu menikmati harinya. Dibonceng Danang di depan. Sesekali tatapan mata mereka bertemu. Terlihat aura cinta di antara mereka yang berstatus sahabat itu. Nissa mulai bernyanyi dan Danang terus mengayuh sepeda dengan semangat.
“Don’t stop jangan hentikan!
My Love selama-lamanya.
Tolong biarkan ku lewat seperti ini.
Go to kemana-mana,
Heaven bila denganmu.
Ku ingin terus berlari.
Cause, I’m loving you” Nissa bernyanyi dengan merdunya.
“Lagu apa itu?” tanya Danang.
“JKT48, Futarinori No Jitensha”
“Ohh”
“Kau tahu tidak, lelaki keji itu lelaki yang seperti apa?”
Danang menggeleng.
“Sepertimu” ucap Nissa datar.
“Aku? Mengapa aku?” tanya Danang tidak terima.
“Lelaki keji itu lelaki yang mendekati wanita, membiarkannya jatuh cinta. Tapi tak berniat mencintainya.”
Danang langsung berhenti mengayuh sepeda dan meletakkannya sembarang. Lalu ia berjalan sendiri dan meninggalkan Nissa begitu saja. Namun, Nissa terus mengikuti langkah kaki cinta pertamanya itu. Tiba-tiba Danang berhenti di sebuah jembatan tua, ia membalikan badannya ke arah Nissa dan menatapnya dengan tatapan yang tajam. Nissapun gemetar dibuatnya.
“Sekarang, jelaskan padaku. Siapa yang mendekatimu? Bukankah kau yang mendekatiku, seperti saat ini?”
‘Jleb’ bulir-bulir bening mulai membasahi pipi seorang Nissa. Ia tak pernah menyangka Danang akan berkata seperti itu.
“Dan satu hal yang perlu kau ketahui Nissa, aku tak akan mungkin membiarkan wanita mencintaiku. Apabila aku tak mencintainya.” lanjutnya.
Danangpun melangkah mendekati Nissa, menghapus air mata yang membasahi pipi Nissa, dan kemudian menenggelamkan wajah Nissa dalam dekap peluknya.
“Aku mencintaimu, lebih dari yang kau tahu.” ujar Danang sambil melepas pelukannya. “Maukah kau menjadi kekasihku, cinta pertamaku?” sambungnya.
Nissa tak dapat menyembunyikan perasaannya, iapun mengangguk. Matanya yang berkaca-kaca dengan senyuman lebar dari bibirnya begitu melukiskan kebahagiaan dalam dirinya. Cinta pertama yang begitu ia dambakan, kini menjadi kekasih hatinya. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Keesokan paginya, Danang hendak menjemput kekasihnya. Ia ingin mengajak gadis itu berangkat bersamanya. Dibawanya sepeda kesayangannya itu menuju rumah Nissa. Dengan bersemangat ia mengayuh pedal sepedanya.
Sesampainya disana, betapa terkejutnya ia melihat Nissa bergandengan tangan bersama lelaki lain yang sebaya dengan Nissa. Hatinya bagai tertusuk duri, sangat menyakitkan. Lelaki itu membawa Nissa masuk ke mobilnya. Danangpun langsung bergegas menuju sekolah. Dan ternyata Nissa juga tak datang ke sekolah. ‘Kemanakah ia pergi?’ batin Danang.
Sepulah sekolah ia membulatkan tekadnya untuk kembali ke rumah Nissa. Sekedar berbincang menanyakan kabar, alasan ketidakhadiran Nissa di sekolah, dan siapa lelaki yang bersamanya tadi pagi. Terlalu banyak hal-hal difikiran Danang yang ingin ia tanyakan pada Nissa. Iapun menemui Nissa dirumahnya.
“Ada apa?” tanya Nissa dengan malas.
“Ada apa denganmu?” Danang balik bertanya dengan serius.
“Apa maksudmu? Kau kan yang menemuiku?”
“Mengapa kau berbeda?”
“Aku tidak berbeda.”
“Nissa!!” bentak Danang pada kekasihnya itu.
“Baiklah cukup Danang. Aku ingin mengakhiri hubungan ini.” ujar Nissa dengan santai, membuat Danang sedikit kecewa.
“Apa alasanmu? Orang ketiga?” tanya Danang dengan diselingi tarikan nafas panjang.
Tiba-tiba Nissa meneteskan air mata. Tanpa aba-aba, Nissa langsung berlari. Melihat sikap aneh kekasihnya itu, Danangpun segera mengejarnya. Diteriakkan nama kekasihnya itu, namun Nissa tak menghiraukannya. Ia terus berlari tanpa henti. Danang yang semakin bingung hanya mengikuti kemanapun langkah Nissa. Ia takut hal buruk akan terjadi pada gadis itu.
Perlahan hujan turun, semakin lama semakin deras. Nissa masih terus berlari hingga kemudian langkahnya terhenti di tengah sebuah jembatan tua. Ia mendengar suara aneh dengan getaran di tempat ia memijakkan langkah. Ia membalikkan badan kebelakang dan betapa terkejutnya ia begitu mendapati pijakan jembatannya rusak dan Danang hampir terperosok ke sungai. Dengan sekuat tenaga, Nissa berusaha menolong Danang. Namun sia-sia, Danang akhirnya jatuh ke dalam sungai dengan arus yang begitu deras itu. Satu kalimat terakhir dari Danang yang terdengar oleh Nissa, “Aku mencintaimu selamanya, Nissa…”
—
Hingga dua tahun berlalu, raga dari ‘kekasih sehari’ Nissa masih belum ditemukan. Faktor utama yang membuat tim SAR kesulitan adalah arus sungai dan hujan yang begitu deras saat kejadian. Namun, semua keluarga Danang sudah merelakan kepergian Danang. Mereka juga tidak pernah menyimpan dendam pada sosok Nissa.
Nissa masih terduduk di kursi rodanya. Ia merenungi kesalahan yang telah ia perbuat lalu. Andai saja ia tidak melakukan tindakan bodoh itu, mungkin Danang tak akan pergi. Jika saja ia jujur akan alasan mengakhiri hubungannya, mungkin saat ini Danang masih disisinya, menjaganya yang kini semakin melemah.
“Danang, maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu seperti ini. Maafkan aku, saat itu ingin mengakhiri hubungan kita karena aku yakin itu yang terbaik. Lelaki yang bersamaku saat itu, dia sepupuku. Aku tak masuk sekolah, karena aku fikir aku sakit. Sepupuku yang menemaniku memeriksakan penyakitku. Aku terserang kanker otak, Danang. Saat itu aku begitu terkejut dan tak tahu harus berbuat apa. Aku tak ingin menyakitimu karena penyakitku ini. Kanker ini, sekarang sudah stadium akhir. Kakiku sudah lumpuh. Aku sudah tak bisa berjalan.” ujar Nissa terisak sembari memandangi jembatan tua yang kini sudah diperbaharui. Perlahan cairan kental berwarna merah menetes dari hidungnya.
“Jembatan ini, akan selalu jadi kenangan kita. Sampai saat ini, aku tak bisa lagi jatuh cinta pada orang lain. Kaulah cinta pertama dan terakhir dalam hidupku. Kau tahu Danang, penyakit ini sangat menyiksaku. Andai kau ada disini, mungkin deritaku bisa sedikit berkurang. Hemm, mungkin ini hukuman bagiku karena telah menyebabkan kematianmu. Maafkan aku Danang Saputra. Maafkan aku…” sambungnya sambil terus mengelap darah dari hidungnya.
Nissa menyandarkan kepalanya pada kursi roda. Perlahan ia memejamkan matanya.
“Tuhan, jika kau ingin ambil nyawaku sekarang. Ambillah! Ampuni segala dosa yang telah ku perbuat. Pertemukan aku pada cinta pertama dan terakhirku, Tuhan. Aku sangat mencintainya…” ucap Nissa pasrah.
“Aku juga mencintaimu Nissa Hasnamudhia. Sangat mencintaimu.” jawab sebuah suara aneh. Nissa mulai membuka matanya dan melihat sosok lelaki yang ia cintai dihadapannya.
“Danang, kaukah itu?” tanyanya dengan suara parau.
“Ya Nissa, aku sudah tenang disini. Dan aku tak tega melihat penderitaanmu. Maukah kau ikut denganku?” ajak Danang sambil mengulurkan tangannya. Nissa mengangguk dan menyambut uluran tangan Danang.
Dua sejoli itupun bergandeng tangan ke tempat peristirahatan terakhir mereka. Cinta mereka, akan kekal abadi selamanya, disana.
TAMAT
Cerpen Karangan: Bella Pratiwi Miella